Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
Perasaan cinta kepada pasangan hidup kita terkadang mengalami gejolak  sebagaimana pasang surut yang dialami sebuah kehidupan rumah tangga.  Tinggal bagaimana kita menjaga tumbuhan cinta itu agar tidak layu  terlebih mati.
Satu dari sekian tanda kebesaran-Nya yang agung, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan anak Adam ‘alaihissalam memiliki pasangan hidup dari jenis mereka sendiri, sebagaimana kenikmatan yang dianugerahkan kepada bapak mereka Adam ‘alaihissalam. Di saat awal-awal menghuni surga, bersamaan dengan limpahan kenikmatan hidup yang diberikan kepadanya, Adam ‘alaihissalam hidup sendiri tanpa teman dari jenisnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala  pun melengkapi kebahagiaan Adam dengan menciptakan Hawa sebagai teman  hidupnya, yang akan menyertai hari-harinya di surga nan indah.
Hingga akhirnya dengan ketetapan takdir yang penuh hikmah, keduanya  diturunkan ke bumi untuk memakmurkan negeri yang kosong dari jenis  manusia (karena merekalah manusia pertama yang menghuni bumi). Keduanya  sempat berpisah selama beberapa lama karena diturunkan pada tempat yang  berbeda di bumi (Al-Bidayah wan Nihayah, 1/81). Mereka didera derita dan sepi sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala mempertemukan mereka kembali.
Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala menutup “sepi” hidup  seorang lelaki keturunan Adam dengan memberi istri-istri sebagai  pasangan hidupnya. Dia Yang Maha Agung berfirman:
وَمِنْ  آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا  إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ  لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ 
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan  untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian  cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara  kalian mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu  benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ruum: 21)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan seorang istri dari  keturunan anak manusia, yang asalnya dari jenis laki-laki itu sendiri,  agar para suami merasa tenang dan memiliki kecenderungan terhadap  pasangan mereka. Karena, pasangan yang berasal dari satu jenis termasuk  faktor yang menumbuhkan adanya keteraturan dan saling mengenal,  sebagaimana perbedaan merupakan penyebab perpisahan dan saling menjauh. (Ruhul Ma’ani, 11/265)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا 
“Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia  jadikan dari jiwa yang satu itu pasangannya agar ia merasa tenang  kepadanya…” (Al-A’raf: 189)
Kata Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu: “Yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah Hawa. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakannya dari Adam, dari tulang rusuk kirinya yang paling pendek. Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala  menciptakan anak Adam semuanya lelaki sedangkan wanita diciptakan dari  jenis lain, bisa dari jenis jin atau hewan, niscaya tidak akan tercapai  kesatuan hati di antara mereka dengan pasangannya. Bahkan sebaliknya,  akan saling menjauh. Namun termasuk kesempurnaan rahmat-Nya kepada anak  Adam, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan istri-istri atau pasangan hidup mereka dari jenis mereka sendiri, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala  tumbuhkan mawaddah yaitu cinta dan rahmah yakni kasih sayang. Karena  seorang lelaki atau suami, ia akan senantiasa menjaga istrinya agar  tetap dalam ikatan pernikahan dengannya. Bisa karena ia mencintai  istrinya tersebut, karena kasihan kepada istrinya yang telah melahirkan  anak untuknya, atau karena si istri membutuhkannya dari sisi kebutuhan  belanja (biaya hidupnya), atau karena kedekatan di antara keduanya, dan  sebagainya.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1052)
Mawaddah dan rahmah ini muncul karena di dalam  pernikahan ada faktor-faktor yang bisa menumbuhkan dua perasaan  tersebut. Dengan adanya seorang istri, suami dapat merasakan kesenangan  dan kenikmatan, serta mendapatkan manfaat dengan adanya anak dan  mendidik mereka. Di samping itu, ia merasakan ketenangan, kedekatan dan  kecenderungan kepada istrinya. Sehingga secara umum tidak didapatkan mawaddah dan rahmah di antara sesama manusia sebagaimana mawaddah dan rahmah yang ada di antara suami istri. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 639)
Allah Subhanahu wa Ta’ala tumbuhkan mawaddah dan rahmah  tersebut setelah pernikahan dua insan. Padahal mungkin sebelumnya  pasangan itu tidak saling mengenal dan tidak ada hubungan yang mungkin  menyebabkan adanya kasih sayang, baik berupa hubungan kekerabatan  ataupun hubungan rahim. Al-Hasan Al-Bashri, Mujahid, dan ‘Ikrimah rahimuhumullah berkata: “Mawaddah adalah ibarat/kiasan dari nikah (jima‘) sedangkan rahmah adalah ibarat/kiasan dari anak.” Adapula yang berpendapat, mawaddah adalah cinta seorang suami kepada istrinya, sedangkan rahmah adalah kasih sayang suami kepada istrinya agar istrinya tidak ditimpa kejelekan. (Ruhul Ma’ani 11/265, Fathul Qadir 4/263)
Cinta Suami Istri adalah Anugerah Ilahi
Rasa cinta yang tumbuh di antara suami istri adalah anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala  kepada keduanya, dan ini merupakan cinta yang sifatnya tabiat. Tidaklah  tercela orang yang senantiasa memiliki rasa cinta asmara kepada  pasangan hidupnya yang sah. Bahkan hal itu merupakan kesempurnaan yang  semestinya disyukuri. Namun tentunya selama tidak melalaikan dari  berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يآ  أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ  أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ. وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ  الْخَاسِرُوْنَ 
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan  anak-anak kalian melalaikan kalian dari zikir/mengingat Allah.  Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang  merugi.” (Al-Munafiqun: 9)
رِجَالٌ لاَ تُلْهِِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَ بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللهِ 
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah… “ (An-Nur: 37) (Ad-Da`u wad Dawa`, Ibnul Qayyim, hal. 293, 363)
Juga, cinta yang merupakan tabiat manusia ini tidaklah tercela selama  tidak menyibukkan hati seseorang dari kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat yang sepantasnya mendapat kecintaan tertinggi. Karena Dia Yang Maha Agung mengancam dalam firman-Nya:
قُلْ  إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ  وَعَشِيْرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ  كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ  وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ  اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِيْنَ 
“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak,  saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang  kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya,  rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai  daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka  tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak  memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 24)
Kecintaan kepada Istri
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia dan sosok yang paling sempurna, dianugerahi rasa cinta kepada para istrinya. Beliau nyatakan dalam sabdanya:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُنْيَا النِّسَاءُ وَ الطِّيْبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ
“Dicintakan kepadaku dari dunia kalian1, para wanita (istri) dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.”2
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh shahabatnya yang mulia, ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhu:
أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: عَائِشَةُ. فَقُلْتُ: مِنَ الرِّجَالِ؟ قَالَ : أَبُوْهَا 
“Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab: “Aisyah.”
Aku (‘Amr ibnul Ash) berkata: “Dari kalangan lelaki?”
“Ayahnya (Abu Bakar),” jawab beliau.3
Aku (‘Amr ibnul Ash) berkata: “Dari kalangan lelaki?”
“Ayahnya (Abu Bakar),” jawab beliau.3
Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata membela dan memuji Khadijah bintu Khuwailid radhiallahu ‘anha ketika ‘Aisyah radhiallahu ‘anha cemburu kepadanya:
إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا
“Sesungguhnya aku diberi rizki yaitu mencintainya.” 4
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah ingin  menjadi perantara dan penolong seorang suami yang sangat mencintai  istrinya untuk tetap mempertahankan istri yang dicintainya dalam ikatan  pernikahan dengannya. Namun si wanita enggan dan tetap memilih untuk  berpisah, sebagaimana kisah Mughits dan Barirah. Barirah5 adalah seorang  sahaya milik salah seorang dari Bani Hilal. Sedangkan suaminya Mughits  adalah seorang budak berkulit hitam milik Bani Al-Mughirah. Barirah pada  akhirnya merdeka, sementara suaminya masih berstatus budak. Ia pun  memilih berpisah dengan suaminya diiringi kesedihan Mughits atas  perpisahan itu. Hingga terlihat Mughits berjalan di belakang Barirah  sembari berlinangan air mata hingga membasahi jenggotnya, memohon  kerelaan Barirah untuk tetap hidup bersamanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada paman beliau, Al-’Abbas radhiallahu ‘anhu:
يَا  عَبَّاسُ, أَلاَ تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيْثٍ بَرِيْرَةَ، وَمِنْ بُغْضِ  بَرِيْرَةَ مُغِيْثًا؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ: لَوْ رَاجَعْتِهِ. قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ تَأْمُرُنِي؟  قَالَ: إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ. قَالَتْ: لاَ حَاجَةَ لِي فِيْهِ 
“Wahai paman, tidakkah engkau merasa takjub dengan rasa cinta Mughits pada Barirah dan rasa benci Barirah terhadap Mughits?”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Barirah: “Seandainya engkau kembali kepada Mughits.” Barirah bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan aku?”
“Tidak,” kata Rasulullah, “Akan tetapi aku hanya ingin menolongnya.”
“Aku tidak membutuhkannya,” jawab Barirah.6
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Barirah: “Seandainya engkau kembali kepada Mughits.” Barirah bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan aku?”
“Tidak,” kata Rasulullah, “Akan tetapi aku hanya ingin menolongnya.”
“Aku tidak membutuhkannya,” jawab Barirah.6
Tiga Macam Cinta Menurut Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu
Perlu diketahui oleh sepasang suami istri, menurut Al-Imam  Al-’Allamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakar yang lebih  dikenal dengan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu, ada tiga macam cinta dari seorang insan kepada insan lainnya:
Pertama: Cinta asmara yang merupakan amal ketaatan.  Yaitu cinta seorang suami kepada istri atau budak wanita yang  dimilikinya. Ini adalah cinta yang bermanfaat. Karena akan mengantarkan  kepada tujuan yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam  pernikahan, akan menahan pandangan dari yang haram dan mencegah  jiwa/hati dari melihat kepada selain istrinya. Karena itulah, cinta  seperti ini dipuji di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan di sisi manusia.
Kedua: Cinta asmara yang dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala  dan akan menjauhkan dari rahmat-Nya. Bahkan cinta ini paling berbahaya  bagi agama dan dunia seorang hamba. Yaitu cinta kepada sesama jenis,  seorang lelaki mencintai lelaki lain (homo) atau seorang wanita mencintai sesama wanita (lesbian). Tidak ada yang ditimpa bala dengan penyakit ini kecuali orang yang dijatuhkan dari pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, hingga ia terusir dari pintu-Nya dan jauh hatinya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penyakit ini merupakan penghalang terbesar yang memutuskan seorang hamba dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Cinta yang merupakan musibah ini merupakan tabiat kaum nabi Luth  ‘alaihissalam hingga mereka lebih cenderung kepada sesama jenis daripada  pasangan hidup yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan:
لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُوْنَ 
“Demi umurmu (ya Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan.” (Al-Hijr: 72)
Obat dari penyakit ini adalah minta tolong kepada Dzat Yang Maha  membolak-balikkan hati, berlindung kepada-Nya dengan sebenar-benarnya,  menyibukkan diri dengan berdzikir/mengingat-Nya, mengganti rasa itu  dengan cinta kepada-Nya dan mendekati-Nya, memikirkan pedihnya akibat  yang diterima karena cinta petaka itu dan hilangnya kelezatan karena  cinta itu. Bila seseorang membiarkan jiwanya tenggelam dalam cinta ini,  maka silahkan ia bertakbir seperti takbir dalam shalat jenazah7. Dan  hendaklah ia mengetahui bahwa musibah dan petaka telah menyelimuti dan  menyelubunginya.
Ketiga: Cinta yang mubah yang datang tanpa dapat  dikuasai. Seperti ketika seorang lelaki diceritakan tentang sosok wanita  yang jelita lalu tumbuh rasa suka di hatinya. Atau ia melihat wanita  cantik secara tidak sengaja hingga hatinya terpikat. Namun rasa suka/  cinta itu tidak mengantarnya untuk berbuat maksiat. Datangnya begitu  saja tanpa disengaja, sehingga ia tidak diberi hukuman karena  perasaannya itu. Tindakan yang paling bermanfaat untuk dilakukan adalah  menolak perasaan itu dan menyibukkan diri dengan perkara yang lebih  bermanfaat. Ia wajib menyembunyikan perasaan tersebut, menjaga  kehormatan dirinya (menjaga ‘iffah) dan bersabar. Bila ia berbuat demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya pahala dan menggantinya dengan perkara yang lebih baik karena ia bersabar karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjaga ‘iffah-nya. Juga karena ia meninggalkan untuk menaati hawa nafsunya dengan lebih mengutamakan keridlaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ganjaran yang ada di sisi-Nya. (Ad-Da`u wad Dawa`, hal. 370-371)
Bila cinta kepada pasangan hidup, kepada suami atau kepada istri,  merupakan perkara kebaikan, maka apa kiranya yang mencegah seorang suami  atau seorang istri untuk mencintai, atau paling tidak belajar mencintai  teman hidupnya?
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Catatan kaki:
1 Tiga perkara ini (wanita, minyak wangi dan shalat) dinyatakan  termasuk dari dunia. Maknanya adalah: ketiganya ada di dunia.  Kesimpulannya, beliau menyatakan bahwa dicintakan kepadaku di alam ini  tiga perkara, dua yang awal (wanita dan minyak wangi) termasuk perkara  tabiat duniawi, sedangkan yang ketiga (shalat) termasuk perkara diniyyah (agama). (Catatan kaki Misykatul Mashabih 4/1957, yang diringkas dari Al-Lam’aat, Abdul Haq Ad-Dahlawi)
2 HR. Ahmad 3/128, 199, 285, An-Nasa`i no. 3939 kitab ‘Isyratun Nisa’ bab Hubbun Nisa`. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain (1/82)
3 HR. Al-Bukhari no. 3662, kitab Fadha`il Ashabun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bab Qaulin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Lau Kuntu Muttakhidzan Khalilan” dan Muslim no. 6127 kitab Fadha`ilush Shahabah, bab Min Fadha`il Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
4 HR. Muslim no. 6228 kitab Fadha`ilus Shahabah, bab Fadha`il Khadijah Ummul Mu`minin radhiallahu ‘anha
5 Disebutkan bahwa Barirah memiliki paras yang cantik, tidak berkulit hitam. Beda halnya dengan Mughits, suaminya. Barirah menikah dengan Mughits dalam keadaan ia tidak menyukai suaminya. Dan ini tampak ketika Barirah telah merdeka, ia memilih berpisah dengan suaminya yang masih berstatus budak. Dimungkinkan ketika masih terikat dalam pernikahan dengan suaminya, Barirah memilih bersabar di atas hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala walaupun ia tidak menyukai suaminya. Dan ia tetap tidak menampakkan pergaulan yang buruk kepada suaminya sampai akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kelapangan dan jalan keluar baginya. (Fathul Bari, 9/514)
6 Lihat hadits dalam Shahih Al-Bukhari no. 5280-5282, kitab Ath-Thalaq, bab Khiyarul Amati Tahtal ‘Abd dan no. 5283, bab Syafa’atun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Zauji Barirah.
7 Artinya dia telah mati
2 HR. Ahmad 3/128, 199, 285, An-Nasa`i no. 3939 kitab ‘Isyratun Nisa’ bab Hubbun Nisa`. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain (1/82)
3 HR. Al-Bukhari no. 3662, kitab Fadha`il Ashabun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bab Qaulin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Lau Kuntu Muttakhidzan Khalilan” dan Muslim no. 6127 kitab Fadha`ilush Shahabah, bab Min Fadha`il Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
4 HR. Muslim no. 6228 kitab Fadha`ilus Shahabah, bab Fadha`il Khadijah Ummul Mu`minin radhiallahu ‘anha
5 Disebutkan bahwa Barirah memiliki paras yang cantik, tidak berkulit hitam. Beda halnya dengan Mughits, suaminya. Barirah menikah dengan Mughits dalam keadaan ia tidak menyukai suaminya. Dan ini tampak ketika Barirah telah merdeka, ia memilih berpisah dengan suaminya yang masih berstatus budak. Dimungkinkan ketika masih terikat dalam pernikahan dengan suaminya, Barirah memilih bersabar di atas hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala walaupun ia tidak menyukai suaminya. Dan ia tetap tidak menampakkan pergaulan yang buruk kepada suaminya sampai akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kelapangan dan jalan keluar baginya. (Fathul Bari, 9/514)
6 Lihat hadits dalam Shahih Al-Bukhari no. 5280-5282, kitab Ath-Thalaq, bab Khiyarul Amati Tahtal ‘Abd dan no. 5283, bab Syafa’atun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Zauji Barirah.
7 Artinya dia telah mati
(Sumber: Majalah Asy Syariahh No. 24/II/1427 H/2006 halaman 78 s.d.  81, judul: Mawaddah, Mahabbah & Rahmah dalam Kehidupan Sepasang  Insan, penulis: Al Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah,  URL  sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=368)
 
0 komentar:
Posting Komentar